Powered By Blogger

2011/02/21

CERPEN


Sepucuk Surat


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi  Situsnya!


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!

KETIKA Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.

"Saya mengantar ini, Pak," kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.

"Dari siapa?" tanya Pakemon.

"Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar."

Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Presdir almarhum.

"Apa Bapak ingin tidak melayat?" kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. "Jenazah beliau disemayamkan di rumah duka."

"Kapan dimakamkan?"

"Sore ini, Pak."

SURAT itu mengingatkan Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu.

Pakemon telah menunggu sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia.

Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, "Sedang diproses, Pak."

"Jadi, kapan saya bisa pensiun?"

"Terus terang, saya juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan kepada Bapak," kata salah seorang pegawai PSDM.

"Maaf, dengan siapa saya bicara ini?"

"Dengan Ani, Pak."

Pada kesempatan lain, yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama, "Es-ka-nya sedang diproses, Pak."

"Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?" kata Pakemon dengan nada tinggi.

"Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak."

Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,

"Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak."

"Lantas?"

"Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak."

Pakemon sudah hafal jawaban itu semua.

"Sedang diproses, Pak."

"Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak."

"Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak."

"Pak Presdir masih sibuk."

"Pak Presdir sedang rapat."

"Pak Presdir sedang ke luar kota."

"Pak Presdir sedang cuti."

"Pak Presdir sedang liburan ke Eropa."

Ajaibnya, jawaban itu sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh tahun. "Tidak masuk akal," pikir Pakemon.

SALAH satu yang disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan.

"Setiap sen yang dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri," komentar para karyawan secara bisik-bisik.

Komentar lain pada Pakemon, "Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit…."

Dalam soal disiplin, Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30.

Pulangnya pun begitu. Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul 16.30 teng.

Tak mengherankan kalau Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC itu pada usia 30 tahun.

Itu juga sebabnya, Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut. Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir.

"Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak," kata mereka.

"Kenapa?" tanya Presdir.

"Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak," kata yang satu.

"Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak," kata yang lain.

"Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak," kata yang lain lagi.

Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan.

KALAU bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m2/Lb 500 m2) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya).

Bukan itu.

Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun!

Itulah yang menyebabkan Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak mungkin lagi ia naik ke atas….

"Menjadi salah satu direktur saja sudah di luar impianku," kata Pakemon pada suatu hari pada istrinya.

Pakemon sangat mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin lagi lebih dari itu.

"Tapi, kamu kan masih muda, Mas," sahut istrinya.

"Maksudmu?"

"Kamu masih mempunyai peluang jadi presdir."

"Jadi p-r-e-s-d-i-r?"

"Ya, jadi p-r-e-s-d-i-r!"

Pakemon yang tak punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu ("yang penting aku dapat pekerjaan dan bisa hidup"), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir? Ah, tidak. Tidak!

Pakemon sangat tahu diri.

"Ah, itu tak mungkin, Pak," kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon sengaja minta waktu untuk menghadap.

"Lalu rencana Saudara selanjutnya apa?"

"Kalau kita sudah di atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan."

Rupanya, Presdir kurang paham maksud Pakemon.

"Maksud Saudara bagaimana?"

"Saya ingin pensiun saja, Pak."

"P-e-n-s-i-u-n?"

"Ya, pensiun, Pak," kata Pakemon dengan kalem. "Pensiun dini…."

"Pensiun pada usia empat-puluh tahun?"

"Betul, Pak."

"Saudara sudah yakin?"

"Yakin, Pak."

SETELAH membaca basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu.

Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.

Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif.

Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?

Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.

Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.

Di bawahnya masih ada kata-kata berikut.

Jangan dendam pada saya. Itu tak baik.

Dua baris terakhir berbunyi:

Anda telah menunggu 20 tahun.

Maaf.

Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.

ISTRI Pakemon yang mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur Pakemon.

"Sudahlah, Pap. Nggak usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu."

Pakemon tak bereaksi. Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma dianggap non-aktif!

"Lupakah saja surat pensiun dini itu, Pap."

Pakemon menarik napas panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar? Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat?

"Toh semua sudah berlalu, Pap, buat apa dipikiri?"

PAKEMON mengangkat cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya. Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca koran pagi.

Ketika istri Pakemon mengajak, "Ayo kita melayat, Mas!" Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia akan melayat atau tidak.




Surat-Surat Cinta di Stasiun Gambir


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Jurnal Nasional Silakan Kunjungi  Situsnya!


PAK BEN belum tahu apakah ia akan berangkat ke Gambir atau tidak. Ia sangsi apakah masih ada manfaatnya menyambangi stasiun kereta api itu. Jangan-jangan hanya buang-buang waktu. Buang-buang tenaga. Buang-buang energi. Bukankah hidup Pak Ben selama ini sudah berjalan baik-baik saja tanpa ada masalah? Ia mempunyai istri yang setia serta dua anak yang sudah jadi mahasiswa. Kalau toh ke Gambir juga, Pak Ben malah khawatir menimbulkan persoalan baru kelak.

Sekretaris Pak Ben sudah lama meninggalkan ruangan karena jam kantor telah usai dan tak ada tugas lembur. Sebelum meninggalkan ruangan, sang sekretaris malah masih sempat berpesan, ”Kalau ada apa-apa, saya bisa ditelepon di rumah, Pak.”

Kini Pak Ben sendirian di ruangan 6 x 6 meter yang sejuk itu. Dari lantai 10, Pak Ben bisa mengintip Jakarta dan sekitarnya. Ia bisa menatap pencakar langit yang mekar di seantero Jakarta. Rasanya ia bisa merengkuh Monas yang hanya beberapa ratus meter dari kantornya. Stasiun Gambir pun cuma selemparan batu dari ruangannya.

Sepanjang Jalan Merdeka Barat dan Jalan Merdeka Timur kendaraan padat merayap mirip semut beriringan. Hampir tak ada celah untuk menyalip, entah dari kiri entah dari kanan. Rute itulah yang harus dilalui Pak Ben kalau ia hendak ke Gambir beberapa menit mendatang.

Bukan deretan kendaraan yang tak putus-putus itu yang membuat nyali Pak Ben jadi ciut. Bukan pula karena orang yang mengajaknya bertemu itu. Yang membuat Pak Ben bingung adalah bahan obrolan di Gambir nanti. Bayangkan. Setelah 25 tahun tak jumpa muka, apa yang harus dipercakapkan Pak Ben? Bukankah jarak 25 tahun itu sangat panjang? Apa kabarmu sekarang? Sudah berapa anakmu? Kuliah di mana mereka? Suamimu kerja di mana? Apa kamu juga kerja atau cuma jadi ibu rumah tangga?

Ah, semua kata-kata klise. Pak Ben tak suka kata-kata semacam itu. Cuma basa-basi.

Yang lebih runyam lagi, lawan bicaranya pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa meski tak sama. Kamu kerja di mana sekarang? Istrimu kerja atau cuma jadi ibu rumah tangga? Anakmu laki atau perempuan? Kuliah di mana mereka?

***

KETIKA sedang berkemas-kemas hendak pulang, telgam Pak Ben disergap sebuah esemes. Mas, aku tunggu di Gambir sebelum pukul 20. Aku lagi di Jakarta, tapi harus buru-buru kembali ke Solo. Lantas di dalam kurung tercantum sebuah nama.

Pak Ben tertegun beberapa jenak, lantas cepat-cepat menghapus esemes itu. Dari mana perempuan itu mengetahui nomor telgamku? Pastilah dia mencarinya ke sana kemari. Jangan-jangan dia mendapatkannya dari ”Profesor Google” atau dari Facebook.

Nama perempuan itu sudah lama terhapus dari memori Pak Ben. Sejak perempuan itu tak mau beranjak dari kotanya (Solo), dan ogah diajak hidup di Ibu Kota (”untuk memperbaiki nasib”), Pak Ben menganggap mereka tak jodoh. Sejak itu pula, Pak Ben berusaha melupakan nama itu. Entah kenapa, kini nama itu menyelinap ke telgamnya. Pak Ben merasa seperti berada di dunia maya. Apa mau dikata, nama itu bukan fiksi, melainkan sungguhan. Nama yang dulu sangat dikenal Pak Ben, bahkan sangat dekat di hatinya.

Pak Ben menuju meja kerjanya. Laptop-nya masih pada posisi on. Pak Ben kemudian membuka situs google.co.id, lalu pindah ke fifa.com. Tak berapa lama, ia beralih ke situs stern.de. Tak juga ada yang menarik minatnya. Dia klik sembarang situs. Terkliklah 25 th-silam.com. Entah kenapa pula, wajah yang muncul di halaman depan adalah wajah Ratih.

Lho ...kok?

Akhirnya, Pak Ben memencet tombol Close. Seterusnya Close dan Close lagi.

Pak Ben beralih ke imel. Dia membuka dokumen yang masuk. Ada peluncuran buku. Ada pemutaran film. Ada pameran ini-itu. Belum terhitung spam. Tahu-tahu ada imel menerobos masuk. Pak Ben tak mengenal alamat imel itu. Pak Ben memencet Open. Tahu-tahu muncul wajah Ratih di layar laptop-nya.

Lagi-lagi Pak Ben bingung. Siapa yang kirim?

Pak Ben akhirnya mematikan laptop, lalu ia pindah ke sofa.

Pak Ben menyetel televisi Sony 29 inci. Muncul berita pembunuhan, perkosaan, demo buruh, dan lawakan yang tidak lucu. Semua menyebalkan.

Iseng-iseng Pak Ben memilih saluran TVTerbaru. Lagi-lagi yang muncul adalah Ratih sebagai narasumber. Hebat betul perempuan ini! Si pewawancara menanyakan, apa resep sukses kehidupan Ratih dengan keluarganya sehingga terpilih menjadi Ibu Teladan. ”Yang penting kita saling percaya,” ujar Ratih dengan kalem dan lembut. ”Percaya pada suami, percaya pada anak-anak. Selebihnya, kita harus care dengan keluarga dan sekitar kita.”

Pak Ben memencet tombol Stop pada remote control.

***

PAK BEN belum tahu apakah ia akan berangkat ke Gambir atau tidak. Ia teringat kata-kata seorang psikolog yang pernah dibacanya entah di mana. ”Jangan sekali-kali menjumpai bekas pacarmu kalau tak ingin rumah tanggamu jungkir balik,” kata sang psikolog.

Jarum-pendek pada jam besar bermerk Junghans made in Germany di ruang kerja Pak Ben makin merambat ke angka 8. Itu adalah jam keberangkatan kereta malam eksekutif Gambir à Jogja à Solo Balapan.

Pak Ben berjalan mendekati jendela, kemudian menyibak tirai. Pandangannya menancap ke Stasiun Gambir. Ada rangkaian kereta api yang menanti sinyal berangkat dengan lokomotif mengarah ke timur.

Datanglah ke Gambir. Kita bisa jumpa sejenak. Ada yang ingin kusampaikan kepadamu. Keretaku berangkat jam 20 ke Solo. Datang ya.

Itu bunyi esemes kedua yang masuk ke telgam Pak Ben. Di bawah teks itu ada sebuah nama di dalam kurung: Ratih.

Pak Ben tak membiarkan esemes kedua itu bertengger lama di telgamnya. Dalam beberapa detik, esemes itu sudah lenyap.

***

PAK BEN masih berdiri di depan jendela. Matanya tak lepas dari ular besi yang perlahan-lahan menjauhi Gambir. Lengkingan lokomotif hanya sayup-sayup sampai ke telinga Pak Ben.

Tatapan Pak Ben terpaku pada rangkaian gerbong yang semakin jauh meninggalkan Gambir dan bergerak ke arah Cikini. Di gerbong manakah gerangan perempuan itu?

Ketika gerbong terakhir menghilang di tikungan, secara perlahan-lahan Pak Ben pun menutup kedua belah tirai jendela ruangannya.

Pak Ben kembali ke sofa. Entah kenapa, kini ia merasa lega.

Pak Ben tak tahu apakah ia menyesal atau tidak. Pak Ben juga tak tahu apakah ia telah menyia-nyiakan kesempatan atau tidak.

***

DI DEPAN lift, di lobi gedung berlantai 20 itu, Pak Ben menerima sebuah esemes. Aku sudah titipkan surat-surat cintamu kepadaku 25 tahun yang silam pada seorang satpam di Stasiun Gambir. Aku masukkan dalam sampul tertutup. Aku tak tega membuang/ membakarnya karena aku telah menjadi bagian dari masa silammu. (Ratih)

Pak Ben terpana, lalu buru-buru menghapus esemes ketiga itu.

Tiba-tiba, Pak Ben ingin menulis esemes. Bukan untuk Ratih yang sedang berada dalam kereta malam, melainkan ke seorang perempuan di pinggiran Jakarta. Aku pulang agak terlambat. Makan malamnya jangan dibereskan dulu. Ailafyu.

”Sini Pak tasnya saya bawakan,” kata seorang laki-laki sembari menerima tas-kerja Pak Ben.

”Terima kasih.”

Laki-laki itu bernama Sahroni, yang tak lain adalah sopir pribadi Pak Ben.

Pak Ben berjalan mengikuti Sahroni, menuju tempat parkir.

Sahroni menoleh ke belakang.

”Pulang ke rumah ’kan, Pak?”

Pak Ben mengangguk.





Menjemput Mimpi


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan

Rumah di pojok jalan itu masih terang benderang meski tak menunjukkan keceriaan dan gelak tawa. Namun, dalam sekejap, rumah peninggalan londo itu - demikian orang menyebutnya - kehilangan tanda-tanda kehidupan.

Rumah di pojok itu tidak seperti rumah-rumah lain yang merayakan Natal. Riang. Hiruk pikuk. Penuh dengan lagu puji-pujian. Penuh dengan kembang api. Rumah itu seperti tahan napas.

Tak keliru lagu "malam kudus, sunyi senyap" pas sekali dilekatkan pada rumah di pojok jalan itu. Rumah ini begitu sunyi. Begitu senyap.

Rumah itu milik Meriam Breda, janda berusia 70 tahunan.

*

Sehari sebelum Natal tiba, Meriam Breda diizinkan pulang oleh dokter yang mengoperasi dan merawatnya di rumah sakit. Kata dokter, operasi tumor seminggu lalu berjalan dengan baik dan Meriam Breda "lebih baik beristirahat di rumah saja".

Keempat putri Meriam Breda menganggap kepulangan ibu mereka ke rumah sebagai berkah dari surga. Keempat menantu pun menganggapnya demikian.

*

Kehadiran Meriam Breda disambut dengan sukacita oleh keluarga dan handai tolan.

"Puji Tuhan," kata putri pertama, "Ibu pulang menjelang Natal."

"Ini rahmat bagi kita semua," ujar putri kedua, "Ibu bisa natalan dengan kita di rumah."

"Ini hadiah paling istimewa bagi kita," kata putri ketiga. "Syukur kepada Tuhan ...."

"Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi pada hari Natal tahun ini," ujar anak keempat. "Mudah-mudahan ini bukan yang terakhir ...."

"Gusti Allah memang baik," ujar pembantu rumah tangga Meriam Breda. "Nyonya bisa natalan di rumah."

*

Ketika masih balita, Meriam Breda sering membayangkan betapa asyiknya bermalam Natal di surga. Meriam Breda berulang kali mengatakan pada kedua orang tuanya, "Aku ingin natalan di surga."

Sang ibu bingung dengan hasrat putrinya yang tak masuk akal itu. "Bagaimana mungkin, Mer? Surga itu jauh dari sini, Nak"

Karena Meriam Breda terus bertanya ini dan itu ("Seberapa jauh Bu dari rumah kita?" atau "Harus naik apa Bu ke surga" atau "Berapa lama perjalanan ke surga, Bu?"), ujung-ujungnya si ibu menghardik, "Hus! Nggak usah nanya macam-macamlah, Ibu lagi sibuk."

Berbeda dengan sang ibu, ayah Meriam Breda sangat bijak menanggapi keinginan putrinya.

"Kenapa kamu ingin natalan di surga, Mer?"

"Karena di surga enak, Pak. Ada kolam susu. Ada salju. Ada coklat. Ada Santa Klaus yang bagi-bagi hadiah dengan kereta kencana. Ada boneka yang lucu-lucu. Banyak mainan. Pokoknya, asyiklah Pak ...."

"Siapa yang bilang begitu?"

"Guru Sekolah Minggu."

Terkadang sang ayah kagum akan imajinasi putrinya. Bisa-bisanya dia membayangkan surga itu seperti apa. Orang dewasa saja sering sulit men- citrakan surga itu seperti apa!

*

Ketika menginjak remaja, Meriam Breda masih terus mengumandangkan hasratnya untuk "natalan di surga" itu. Lebih-lebih menjelang Natal. Kepada sahabat-sahabatnya, Meriam Breda selalu mengatakan bahwa ia ingin sekali merayakan Natal di surga. Sahabat- sahabatnya hanya menyilangkan jari telunjuk kiri atau kanan ke dahi. Kepada gurunya, Mer juga berkata, "Kalau ada kesempatan aku ingin natalan di surga". Sang guru hanya geleng-geleng kepala, pertanda tak paham makna kata-kata muridnya.

Ketika lebih dewasa lagi dan men- jadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, Meriam Breda selalu mengatakan keinginannya itu pada pacar-pacarnya.

Pacar pertamanya serta-merta memutuskan hubungan mendengar keinginan Meriam Breda yang tak rasional itu.

"Gila kamu," ujar sang pacar.

Meriam Breda bingung mengapa pacarnya itu minta putus. Namun, Meriam Breda tidak peduli dan tidak ambil pusing. Memangnya laki-laki cuma dia sendiri? Segitu banyak lelaki di muka bumi ini!

Pacar keduanya geleng-geleng kepala dan menganggap Mer edan.

"Edan kamu!" sergah sang pacar. "Memangnya surga itu bisa dicapai dengan pesawat terbang atau taksi atau kereta api eksekutif? Dengan pesawat luar angkasa saja tak bisa!"

Kini giliran Meriam Breda yang tak habis pikir. Lha, memangnya keinginan itu aneh? Apa salahnya orang bercita- cita merayakan Natal di surga?

Hanya pacar ketiganya yang mau mengerti perasaan Meriam Breda.

"Ya, nantilah kalau saatnya tiba," ujar sang pacar.

Pacar ketiganya inilah kemudian yang menjadi suami Meriam Breda. Dari pernikahan itu, Meriam Breda dikaruniai empat putri. Semuanya telah berumah tangga dan tinggal sekota dengan Meriam Breda.

*

Setiap malam Natal, keempat anak, menantu, serta cucu-cucu berkumpul di rumah Meriam Breda untuk berdoa bersama. Begitulah kebiasaan Meriam Breda pada malam Natal, baik ketika suaminya masih hidup maupun setelah meninggal. Kebiasaan itu pun berubah hingga kini.

Aneka macam doa telah dipanjatkan setiap tahun. Ada yang ingin punya rumah sendiri agar tidak perlu ngontrak terus-menerus. Ada yang ingin punya mobil baru karena mobil lama sering ngadat. Ada yang ingin berziarah ke Betlehem dan Jerusalem. Ada yang ingin ke Lourdes sebelum mati. Ada yang ingin mendapatkan anak laki-laki. Ada yang ingin mendapat anak perempuan. Bahkan, ada yang ingin mencium tangan Sri Paus di Vatikan.

*

Sehabis merayakan Natal di gereja terdekat, Meriam Breda meminta keempat putrinya berkumpul di rumah pojok. Tanpa diminta pun, sesungguhnya putri-putri Meriam Breda akan berkumpul secara otomatis. Lengkap dengan suami dan anak-anak mereka. Itu sudah berjalan bertahun-tahun. Entah kenapa, kali ini Meriam Breda meminta secara khusus.

"Tak usah bawa bingkisan Natal segala," pesan Meriam Breda melalui telepon. "Kalian datang saja aku sudah senang, kok. Sungguh."

Meriam Breda sendiri tak ke gereja kali ini. "Aku ingin di rumah saja," ujarnya kepada keempat putrinya.

Perayaan Natal kali ini memang agak istimewa bagi Meriam Breda dan putri-putrinya. Selain merayakan dan mensyukuri kesembuhan Meriam Breda, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya ke-75 yang jatuh tanggal 24 Desember.

*

Doa-doa pun dipanjatkan ke surga secara bergantian dan beruntun.

"Bagi ibu kami yang baru pulang dari rumah sakit, berilah dia kesehatan yang prima," doa putri pertama. "Agar dia dapat membimbing kami pada tahun-tahun mendatang."

Doa putri kedua, "Bagi ibu yang baru sembuh dari sakit, berilah dia kearifan agar kami turunannya juga bisa hidup secara arif."

"Bagi ibu kami yang baru sembuh dari operasi, berilah dia umur panjang," doa putri ketiga. "Agar dia bisa menyertai kami lebih lama."

Doa putri keempat, "Bagi ibu kami yang baru kembali dan selalu ingin natalan di surga, kabulkanlah keinginannya, ya Bapa ..."

Seluruh keluarga Meriam Breda pun berucap serentak, "Kabulkanlah doa kami, ya Bapa ..."

Sementara itu, di televisi, di radio, dan di mana-mana di seluruh jagat masih berkumandang lagu "Malam kudus, sunyi senyap".

Beberapa detik berselang, seisi rumah pun membuka mata secara perlahan-lahan. Beberapa detik kemudian, seisi rumah masih berdiri di tempat masing-masing.

Bergeming.

Sunyi.

Sepi.

Entah dikomando oleh siapa, semua mata tertuju pada Meriam Breda.

*

Rumah di pojok jalan itu masih terang benderang, namun tak menunjukkan suasana hiruk pikuk. Bahkan tak terdengar sepotong kata pun.

Semua mata tertumbuk pada Meriam Breda yang duduk dengan tenang di sofa. Senyum dingin tersungging di bibirnya meski matanya tak juga terbuka setelah sekian detik, bahkan setelah sekian menit ....

Tiba-tiba ada sesuatu yang menyesakkan dada seisi rumah. Namun, hanya beberapa detik, untuk kemudian pecah dengan teriakan dan tangisan histeris.

Dari gereja yang berjarak lima puluh meter masih terdengar alunan lagu Stille Nacht, heilige Nacht ....

Tubuh Meriam Breda tetap bergeming dan semakin dingin.***





Iklan


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi  Situsnya!

Fuhlsbuettel, Hamburg

Inilah perjalanan Berbi yang ketiga kalinya ke Tanah Air setelah tiga tahun bermukim dan memperdalam pengetahuan di negeri Goethe itu. Sebetulnya, Berbi merasa sayang juga dengan biaya yang dikeluarkan orangtuanya guna membeli tiket pesawat terbang Hamburg-Frankfurt-Jakarta-Frankfurt-Hamburg seharga 2.000 dollar AS lebih. Namun, kalau sudah ada keinginan orangtuanya, biasanya biaya menjadi tak relevan dipersoalkan.

Berawal dari sepucuk surat yang hinggap ke apartemennya beberapa hari yang lalu.

"Pulanglah segera begitu kamu menerima surat ini," tulis ayah Berbi. "Ada hal penting yang hendak kubicarakan denganmu."

Dalam surat tercatat dan pos udara itu juga disebutkan, "Ayah sudah membayar tiketmu pulang pergi dengan Lufthansa. Kontak saja agen Lufthansa di Moenckebergstrasse."

Seperti biasa, ayah Berbi tak pernah menyebutkan hal penting apa. Kalau disebutkan dalam surat, barangkali Berbi akan menimbang-nimbang apakah ia akan pulang atau tidak. Jadi, ada kemungkinan ayah Berbi sengaja tak menyebutkan apa hal penting itu. Bukan untuk membuat Berbi penasaran, tetapi agar Berbi betul-betul pulang ke Jakarta. Agar Berbi menyempatkan diri pulang ke Graha Taman, ke rumah orangtuanya.

Lagi pula, kalau tiket sudah dilunasi, tentu akan jadi masalah jika Berbi tidak mudik. Jadi, Berbi memutuskan akan pulang saja ke Jakarta. Apa pun masalah penting yang akan dibicarakan sang ayah! Apa boleh buat meski Berbi merasa di-fait accompli ayahnya.

Meskipun salju belum turun, suhu udara di Hamburg terasa kian menggigit kulit. Apalagi ditambah dengan angin kencang. Pohon-pohon sudah mulai meranggas, pertanda musim gugur telah tiba. Daun-daun kuning bercampur coklat beterbangan ke mana-mana ditiup angin dan mendarat di trotoar dan jalan raya. Dalam satu-dua bulan, pohon-pohon di seluruh kota tentu akan gundul-gerundul. Pada bulan Maret tahun depannya, secara alamiah daun-daun pepohonan itu akan muncul kembali dan lama-lama kian merimbun pada musim panas.

Berbi mengancingkan jaketnya sembari menunggu panggilan keberangkatan untuk naik ke pesawat Lufthansa yang akan menerbangkannya ke Frankfurt. Di Frankfurt, Berbi akan berganti dengan pesawat Lufthansa berbadan besar yang akan melontarkannya dalam tempo 14 jam ke Cengkareng, Jakarta.

Rothenbaumchaussee, Hamburg 1

"Pulanglah segera...."

Begitu bunyi surat itu.

Berbi tahu betul bahwa itu tulisan tangan ayahnya.

Berbi masih tidak habis pikir, meski teknologi sudah maju pesat, ayahnya masih saja menulis surat dengan tulisan tangan. Tidak dengan mesin tik, apalagi dengan komputer. Tidak juga mengirim e-mail atau faksimile atau menelepon.

Ayah Berbi memang tergolong konservatif bin kuno dalam hal teknologi modern. Entah kenapa, ayahnya tidak mau menggunakan hasil peradaban modern itu.

Ketika Berbi bertanya suatu ketika mengapa begitu, sang ayah hanya mengatakan, "Dengan tulisan tangan rasanya lebih otentik dan lebih personal."

Surat ini mirip telegram saja. Kalimatnya bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Berbi tahu, ayahnya tergolong paling malas menulis surat. Kalau toh terpaksa menulis surat, pastilah surat itu tidak akan panjang-panjang. Ayah Berbi agaknya ditakdirkan tidak punya bakat menjadi pengarang. Apalagi pengarang cerpen atau novel. Paling-paling hanya akan menjadi penyair, si hemat kata.

Di apartemennya, di Rothenbaumchaussee, Berbi masih berpikir-pikir apa gerangan yang akan dibicarakan ayahnya. Kenapa Ayah tidak mengangkat telepon saja? Kenapa harus bicara langsung dan harus tatap muka? Kenapa harus buang-buang uang sekian ribu dollar Amerika untuk tiket pesawat terbang Lufthansa bolak-bolik Jerman-Indonesia? Seberapa penting urusan yang akan diomongkan Ayah itu? Soal warisankah? Soal pasangan hidup Berbi-kah?

Rothenbaumchaussee, Hamburg 2

Memang, biaya penerbangan Hamburg-Frankfurt-Jakarta pulang pergi bukanlah masalah besar bagi ayah Berbi. Sebagai direktur sebuah perusahaan nasional, uang 2.000-an dollar Amerika untuk pulang pergi Jerman-Indonesia bukanlah jumlah besar bagi orangtua Berbi.

Namun, uang tetaplah uang bagi Berbi, seberapa pun kecil atau besarnya. Apalagi ia sudah terbiasa hidup hemat di negeri orang. Dua ribuan dollar tentu sangat besar, cukup untuk membayar apartemennya selama beberapa bulan. Oleh karena itu, ia masih berpikir-pikir apakah ia akan pulang atau tidak. Kalau pulang, untungnya apa? Kalau tetap di Hamburg, risikonya apa?

Di pihak lain, Berbi kasihan juga kepada ayahnya kalau ia tak pulang ke Tanah Air. Sebagai putri tunggal, ia mengerti perasaan ayahnya. Dengan siapa lagi ayahnya bicara kalau bukan dengan dia? Berbi menduga, pasti ada hal penting yang hendak disampaikan ayahnya. Kalau tidak, untuk apa ayahnya menyuruhnya pulang dan membelikan tiket pulang pergi segala?

Mudik 1

Sejak kuliah tiga tahun lalu di kota pelabuhan terbesar Jerman itu, Berbi sudah dua kali menerima surat serupa, yakni memintanya pulang dengan segera, "karena ada yang akan kubicarakan denganmu" (begitu selalu ayahnya).

Ketika Berbi belum lagi setahun di Hamburg, tahu-tahu dia menerima surat dari sang ayah.

"Pulanglah segera, ada yang akan kubicarakan denganmu."

Hanya itu isi suratnya.

Persoalan yang ingin disampaikan kepada Berbi waktu itu adalah mengenai pengganti ibu Berbi.

"Teman-teman Ayah menyarankan agar Ayah menikah lagi," kata sang ayah to the point ketika Berbi sudah tiba di Jakarta.

"Oh, ya."

Hanya itu komentar Berbi.

"Ayah ingin tahu, bagaimana pendapatmu."

Berbi menatap mata ayahnya dalam-dalam.

Berbi agak bingung juga harus berkomentar apa dan bagaimana. Ia tidak siap menjawab. Ia tidak menyangka, pada usia yang berkepala lima ayahnya masih memikirkan pernikahan. Oleh karena itu, ia menjawab sekenanya, "Terserah Ayah sajalah...."

"Maksudmu bagaimana?"

"Maksudku, kalau Ayah memerlukan orang yang akan mengopeni Ayah, ya, apa salahnya menikah lagi. Sebaliknya, kalau Ayah merasa tidak membutuhkan pendamping lagi, ya, tentu tak perlu menikah lagi. Itu kan cuma akan menambah persoalan baru."

Ayah Berbi terdiam sejenak. Oleh karena itu, Berbi menyambung, "Omong-omong, apa Ayah sudah punya calon...?"

Sebetulnya, Berbi merasa agak lancang juga mengucapkan kata-kata seperti itu. Cuma karena ayahnya sudah to the point, ia pun tak sungkan bertanya langsung.

Ayah Berbi menggeleng. Berbi menjadi heran karena ia pikir ayahnya sudah memiliki calon istri baru atau istri kedua.

"Lho, bagaimana sih Ayah ini?"

"Teman-teman Ayah di kantor, katanya, siap mencarikan kalau Ayah setuju menikah lagi."

"Saya pikir, Ayah sudah punya calon...."

"Belum."

Sejak kematian istrinya sepuluh tahun silam, Berbi-lah yang menjadi teman bicara dan teman diskusi ayahnya. Apa boleh buat, peran hati harus diterima Berbi-suka atau tidak suka.

Mudik 2

Surat semacam itu ("Pulanglah segera" atau "Segeralah pulang") bukan kali ini diterima Berbi.

Pernah sekali Berbi disuruh pulang oleh ayahnya. Setiba di Jakarta, Berbi hanya dilapori bahwa sang ayah baru saja diperiksa dokter.

"Memangnya Ayah sakit?" tanya Berbi. "Kok periksa dokter segala?"

"Aku pikir, aku mengidap penyakit."

"Lantas?"

"Setelah diperiksa dokter, ternyata aku dinyatakan sehat."

"Lho, memangnya Ayah merasakan apa?"

"Rasanya Ayah enggak enak badan terus. Makan tak enak. Baca tak enak. Tidur tak enak, tak nyenyak. Badan serasa meriang sepanjang hari. Pada saat lain, badanku serasa gatal seluruhnya."

"Tensi Ayah, bagaimana?"

"130/90."

"Normal dong."

Graha Taman 1

Kepulangannya kali ini ke Indonesia adalah yang ketiga kalinya. Pastilah ada hal penting yang akan dibicarakan Ayah, pikir Berbi. Kalau tidak, tentulah ia tidak akan memanggilku pulang.

"Aku punya firasat bahwa aku tidak lama lagi hidup," kata sang ayah setelah Berbi tiba di rumahnya yang bernuansa Bali di Graha Taman, Jakarta.

"Maksud Ayah?"

"Maksudku, aku merasa sebentar lagi aku akan dipanggil-Nya."

"Lho, memangnya Ayah sakit?"

Sang ayah membisu.

"Ayah mengidap penyakit berat?"

Sang ayah menggeleng.

"Ayah sakit jantung?"

Sang ayah menggeleng lagi.

Setelah tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan, Berbi mengubah cara bertanyanya.

"Kenapa Ayah merasa akan mati?"

Dengan enteng ayah Berbi menjawab, "Aku dapat firasat...."

Graha Taman 2

Keesokan harinya, ayah Berbi mengajak Berbi ke ruang kerjanya.

"Begini," kata sang ayah. "Aku ingin, kalau aku mati nanti, kamu pasang iklan kematian untuk aku."

Berbi agak heran dengan kata-kata ayahnya itu. Namun, agar tidak mengecewakan sang ayah, Berbi mengajukan pertanyaan, "Lho, Ayah ini bagaimana sih? Masih sehat begini kok sudah bicara iklan duka cita?"

"Tak apa-apa toh. Kita kan perlu bersiap-siap. Kata peribahasa, ’Sedia payung sebelum hujan’."

Mereka terdiam sejenak.

Kemudian Berbi melanjutkan, "Rencana Ayah bagaimana?"

Ayah Berbi membuka sebuah map yang ada di mejanya.

"Aku ingin kamu ikut memilih judul iklan duka cita yang bagus," kata ayah Berbi seraya mengeluarkan guntingan-guntingan iklan duka cita dari map.

Guntingan-guntingan itu diambil dari berbagai koran.

"Turut Berduka Cita".

"Kabar Duka Cita".

"Telah Dipanggil ke Rumah Bapak".

"Telah Beristirahat dengan Tenang".

"Telah Mendahului Kita".

"Rest in peace".

"R.I.P".

Ayah Berbi meneruskan, "Aku ingin kamu memilih salah satu di antara bunyi iklan ini."

"Kalau aku sudah pilih?"

"Nanti, kalau aku sudah mati, iklan seperti itulah yang kamu pasang di koran."

Berbi terdiam.

"Kok Ayah ingin diiklankan, sih, kalau meninggal?"

"Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sudah mati. Teman-teman, kerabat, tetangga, dan bekas karyawanku tahu bahwa aku sudah mendahului mereka."

Berbi manggut-manggut meski ia tak mengerti betul keinginan ayahnya itu.

Soekarno-Hatta, Cengkareng

Berbi masih terus bertanya-tanya kenapa ayahnya merasa akan mati dalam waktu dekat meski sang ayah tidak menderita penyakit apa pun. Firasat, kata ayahnya. Akan tetapi, apakah firasat itu harus dipercaya? Apakah firasat dapat dijadikan acuan kematian seseorang? Apakah firasat selalu benar?

Berbi juga masih bingung dengan permintaan ayahnya mengenai bunyi iklan duka cita seandainya ayahnya betul-betul meninggal dunia. Berbi tidak tahu persis mana yang bagus di antara judul iklan duka cita yang disodorkan sang ayah padanya: "Turut Berduka Cita", "Berita Duka Cita", "Kabar Duka Cita", "Rest in Peace", "Telah Beristirahat dengan Tenang", "Telah Mendahului Kita", "Telah Dipanggil ke Rumah Bapak", atau "R.I.P". Mana yang paling bagus? Berbi tidak tahu.

Berbi hanya berjanji, "Kalau aku sudah sampai di Hamburg, aku segera kabari Ayah"

Dengan kata-kata itu, Berbi sebetulnya hanya mengulur waktu. Di pihak lain, dan ini sebetulnya yang tidak mengenakkan, Berbi merasa rikuh membicarakan iklan duka cita, sementara orang yang akan diiklankan masih sehat walafiat. Apalagi orang yang meminta iklan itu adalah orangtua Berbi sendiri. Bagaimana mungkin membicarakan iklan duka cita kalau orang yang bersangkutan masih segar bugar? Gendheng apa?

Ruang tunggu Keberangkatan Luar Negeri makin disesaki calon penumpang yang akan terbang ke Frankfurt dengan pesawat Lufthansa LH-747.

Ketika dari pengeras suara terdengar suara empuk wanita, "Para calon penumpang dengan tujuan Frankfurt dengan nomor penerbangan LH-747 dipersilakan naik ke pesawat terbang melalui Gate 1", Berbi pun beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah berat, Berbi menuju Gate 1. Masih terngiang-ngiang kata-kata ayahnya, "Pilihlah judul iklan yang paling bagus...."

Ketika Berbi sudah berada di langit Jakarta, ia belum bisa memilih salah satu di antara judul iklan yang disodorkan ayahnya.

"Nanti aku kabari Ayah lewat telepon, atau surat, atau e-mail, atau telegram, atau faksimile, iklan mana yang kupilih," katanya kepada sang ayah. "Pokoknya, kalau sudah sampai waktunya, tentu akan aku pasang iklan di semua koran."

Ayah Berbi senang mendengar kata-kata putri kesayangannya itu.

Graha Taman 3

Seminggu setelah kepulangan Berbi ke Hamburg, pada suatu malam ayah Berbi terpaku di tempat duduknya menyaksikan siaran CNN. Menurut berita CNN, sebuah kecelakaan mengerikan telah menimpa rombongan mahasiswa Universitas Hamburg yang mengadakan karyawisata ke Roma. Bus yang ditumpangi oleh para mahasiswa itu masuk jurang dalam perjalanan menuju Milan, Italia. Semua penumpang bus meninggal dunia, termasuk sopir bus. Salah seorang mahasiswi yang meninggal itu berasal dari Indonesia, Berbi namanya.





Surat


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi  Situsnya!

Entah bagaimana asal mulanya, orang-orang tidak tahu persis. Para karyawan kantor itu sedang bersiap-siap pulang karena memang sudah hampir pukul 16.30. Jam pulang kantor! Tahu-tahu seseorang berteriak, "Odessa pingsan! Odessa pingsan!" Kontan saja orang-orang lupa akan "pulang" dan seluruh karyawan berlarian menuju tempat kerja Odessa. Odessa terkulai di kursinya dengan posisi menengadah. Layar komputernya dalam posisi hampir dimatikan, masih tampak di layar "Its now safe to turn off your computer". Tinggal di-enter, komputer itu akan mati, sambil menekan dua tombol yang lain. Di meja Odessa terlihat kepingan-kepingan sepucuk surat dalam keadaan berantakan serta potongan-potongan selembar cek yang dikeluarkan Citibank. Rekan-rekan sekantornya memang heran pada Odessa karena Odessa selalu dapat banyak surat. Bayangkan! Separo dari surat masuk tiap hari ke kantor itu adalah untuk Odessa. Mereka tahu, Odessa bukanlah orang penting di kantor itu. Odessa cuma pegawai biasa. Cuma staf bagian administrasi. Tak lebih dan tak kurang! Dengan nada iri, rekan sekantor Odessa pernah berkomentar, "Odessa itu kayak orang penting saja. Tiap hari dapat surat. Setumpuk lagi ..." "Kita yang sudah sepuluh tahun lebih bekerja di sini belum tentu dapat surat tiap hari," kata yang lain. "Kalaupun dapat, paling satu atau dua surat dalam sebulan. Odessa belum setahun bekerja di sini, ternyata tiap hari dapat surat. Mana banyak lagi. Minimal sepuluh surat tiap hari." "Banyak juga ya kolega Odessa," kata yang lain. "Buktinya, ia dapat surat dari mana-mana, dari dalam dan luar negeri." Namun, ada juga yang menduga, barangkali Odessa menekuni hobi surat menyurat atau korespondensi. Kalau tidak, pastilah Odessa tidak akan menerima surat tiap hari, apalagi dalam jumlah banyak. Seperti biasa, sebelum mengerjakan yang lain-lain, yang dilakukan Odessa setiap pagi adalah merobek-robek surat yang diterimanya kemarin sore dan melemparkannya ke keranjang sampah. Jangan kaget. Odessa betul-betul merobek-robek surat itu sampai sulit disambung-sambungkan lagi! "Jangan sampai tukang sampah atau pemulung mengetahui alamat kita," kata Odessa. "Nanti nama dan alamat kita bisa disalahgunakan. Sekarang banyak penipu yang meyalahgunakan kartu nama seseorang!" Odessa memang paling malas membaca surat dari orang yang tidak dia kenal. "Hanya buang-buang waktu membaca surat macam itu," kata Odessa. Setiap mendapat surat yang tidak dikenal nama dan alamat pengirimnya, Odessa selalu merobek-robeknya berkeping-keping dan kemudian melemparkannya ke keranjang sampah di sampingnya. Celakanya, kebanyakan surat yang diterima Odessa tak dia kenal nama dan alamat pengirimnya. Jadi, tidaklah mengherankan jika di kantor itu keranjang sampah Odessa-lah yang paling penuh setiap hari karena - secara kebetulan - setiap hari justru Odessa-lah yang paling banyak menerima surat. Tukang sapu kantor pun pernah berkomentar mengenai keranjang sampah Odessa. "Gila orang ini, sampahnya seabrek-abrek. Bos saja tidak sebanyak itu sampahnya." Orang-orang sekantor Odessa juga heran sebetulnya kenapa Odessa menerima banyak surat setiap hari. Semua orang tahu, Odessa paling malas menulis surat. Menjelang Lebaran pun, Odessa jarang mengirimkan kartu Lebaran. Kalau tidak dipaksa-paksa, ia tak bakal mengirim kartu Lebaran. Jika Odessa disodori 10 kartu Lebaran, paling banyak yang ia ambil hanya dua. "Cukup?" kata sekretaris kantor. "Cukup." Begitu pula menjelang Natal; jarang Odessa sibuk dengan kartu Natal. Hanya satu-dua kartu Natal yang dikirim Odessa. Itu pun dikirimnya secara terpaksa. "Prangkonya kan kantor yang bayar," kata sekretaris kantornya. "Jadi enggak usah takut mengirim banyak-banyak kartu Natalnya, Mas." Odessa sendiri sebetulnya juga heran kenapa tiap hari ia menerima banyak surat. Ia sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal itu. Namun, ia pun bingung bagaimana menyetop aliran surat itu tiap hari. "Padahal, aku paling malas menulis surat," katanya suatu hari pada rekan sekantornya. Memang kebanyakan surat yang diterima Odessa hanya brosur, penawaran barang, ajakan kerja sama, katalog belanja, surat berantai, dan sejenisnya. Itulah sebabnya, tanpa membuka surat-surat itu pun, Odessa langsung merobek-robeknya menjadi keping-keping dan langsung melemparkannya ke keranjang sampah yang ada dekat mejanya. Sejak duduk bangku SD, Odessa paling benci dengan pelajaran Bahasa Indonesia karena di dalamnya ada keterampilan mengarang. Jika ada tugas mengarang, pasti Odessa tak pernah bisa menyelesaikan karangan apa pun. Oleh karena itu, ia selalu mendapat angka merah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di rapor. Itu terjadi dari kelas satu hingga kelas 6! Hanya karena faktor X saja barangkali, Odessa bisa naik kelas meski nilai Bahasa Indonesianya selalu 5 pada cawu 1 dan cawu 2. Mungkin hanya karena kasihan saja pada Odessa sehingga guru kelasnya mengkatrol nilainya menjadi 6 pada cawu 3. Dengan demikian, ia bisa naik kelas. Namun, Odessa tidak mau pusing dengan semua itu! Kalau toh tidak naik kelas pun dulu di SD, Odessa dan orang tuanya sudah pasrah. "Apakah hanya dengan sekolah orang bisa hidup, Pak?" Odessa bertanya. "Tentu saja tidak," jawab sang ayah. Menurut orang tua Odessa, begitu banyak orang bisa hidup tanpa sekolah tinggi-tinggi. Bahkan tanpa sekolah sama sekali, orang tetap bisa hidup. Sebaliknya, banyak orang yang sekolahnya tinggi-tinggi, justru sibuk korupsi, ikut menyengsarakan masyarakat, dan bahkan bikin negeri rusak. Kan tidak ada orang kecil atau tak berpendidikan yang merusak negara? "Makanya, kamu jangan risau dengan pelajaran Bahasa Indonesiamu. Tanpa nilai tinggi untuk Bahasa Indonesia pun kamu tetap bisa hidup dan yang penting kamu pun tetap anak Ayah," kata orangtua Odessa. Kata-kata sang ayah membuat Odessa lega dan percaya diri. Odessa tidak lagi terlalu galau mendapat angka 5 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di rapornya. u Di SLTP dan di SMU pun tidak ada yang berubah pada Odessa. Ia selalu malas dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau sudah sampai pada tugas mengarang. Jika guru sudah berkata, "Anak-anak hari ini kita menulis karangan bebas. Silakan ambil selembar kertas, dan buatlah karangan bebas," Odessa pun dag dig dug. Bukan tak jarang Odessa berkeringat dingin. Odessa merasa, tugas mengarang sangat menyiksanya. Jika boleh memilih antara mengarang dan yang lain, Odessa lebih suka disuruh lari-lari mengelilingi sekolah sebanyak sepuluh atau dua puluh kali daripada disuruh mengarang secara bebas. Odessa selalu bingung dengan perintah guru semacam itu. Bebas bagaimana? Apanya yang bebas? Bukankah bebas itu malah memusingkan para siswa? kenapa guru tidak menentukan tema tertentu? Bukankah itu lebih membantu siswa? Nilai Odessa pun selalu 5 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di SLTP dan SMU pada cawu 1 dan cawu 2. Entah bagaimana pula, pada cawu 3 angka Bahasa Indonesia Odessa selalu 6. Jadi, Odessa bisa naik kelas. Odessa tidak tahu kenapa selalu begitu. Mungkin saja guru Bahasa Indonesia kasihan sama aku. Masak kalau semua mata pelajaran lain bagus nilainya, lantas tidak naik kelas hanya karena nilai Bahasa Indonesianya 5, misalnya? Begitu batin Odessa. Atau, siapa tahu, pada cawu 3 aku selalu bisa mengerjakan soal-soal ujian. Odessa tidak tahu persis karena kertas ujian cawu 3 tidak pernah diperlihatkan kepada siswa. Di perguruan tinggi, Odessa pun paling malas menulis makalah untuk dosen-dosennya. Bukankah menulis makalah itu sama saja dengan mengarang yang tidak disukainya sejak di bangku SD? Bukankah makalah-makalah dari dosennya selalu dikerjakannya dengan setengah hati dan sekadarnya saja. Namun, ujung-ujungnya, Odessa toh bisa melewati semua mata kuliah yang ada tugas makalahnya meski hanya mendapat nilai C. "Yang penting, 'kan lulus," kata Odessa, "soal nilainya berapa, urusan belakang." Setelah lulus dari perguruan tinggi, Odessa melamar di satu kantor. Surat lamarannya ditulis tangan dan tulisan itu mirip "tulisan dokter" pada resep obat. Entah bagaimana kisahnya, Odessa ternyata diterima bekerja di kantor itu. Kebetulan ada satu karyawan yang baru dipecat. Lowongan itu harus diisi. Yang mengisinya ternyata Odessa! Kebetulan kantor itu tidak mensyaratkan orang yang bisa menulis atau mengarang. Kalau syarat ini ada, 99 koma sekian persen Odessa akan terpental. Syukurlah, pikir Odessa. Namun, baru sebulan bekerja, Odessa sudah langsung diserbu banyak surat. Surat dari mana-mana. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Palembang, Semarang, Medan, Makassar, Malang dan kota lain. Bahkan dari Australia, Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Belanda, Prancis, Jerman, Inggris dan Denmark. Odessa pun jadi bingung. Darimana mereka tahu alamatku? Dari mana mereka tahu nama kantor tempatku bekerja? Betapa Odessa tidak pusing, tiap hari Odessa mendapat setumpuk surat. Tumpukan itu minimal 2 cm, malah pernah sampai 10 cm. Celakanya, isi surat itu menurut istilah Odessa, "semua enggak karu-karuan." lalu, Odessa memperinci surat itu sebagai "lotere internasional", "surat berantai", "penawaran barang", "katalog belanja", "ajakan bekerja sama", "ingin berkenalan", dan "ingin jadi sahabat pena". "Bukankah Anda senang dapat banyak surat tiap hari?" mungkin pembaca bertanya pada Odessa. "Tidak juga. Kalau suratnya penting tidak apa. Tapi kalau suratnya berisi katalog, brosur, katalog belanja, penawaran barang, kan cuma buang-buang waktu membacainya. Padahal pekerjaanku di kantor juga buuaaanyak sekali," jawab Odessa. Itulah sebabnya, yang pertama kali diamati Odessa pada setiap surat adalah nama dan alamat pengirim surat. Kalau tidak kenal nama maupun alamat pengirim, langsung surat itu dirobek-robeknya berkeping-keping. Tidak pandang bulu, apakah surat itu dari dalam ataupun dari luar negeri. Seingat Odessa, hanya sekali dia menulis surat. Bahkan ketika kedua orang tuanya menyurati kapan Odessa beristri, Odessa sama sekali tak mau membalasnya. Menurut Odessa, itu urusan pribadi dia. Tak perlu orang lain tahu kapan dia menikah meski itu orang- tuanya. Surat yang ditulis Odessa itu hanya sekadar minta perhatian Pemda akan jalan yang selalu dilaluinya tiap hari kalau berangkat ke kantor. Jalan itu berlubang sepanjang 20 meter dan akan berubah menjadi kubangan jika hujan turun. Tiap hari - hujan atau tidak hujan - terjadi kemacetan panjang di ruas jalan itu. Surat itu dia kirimkan ke sebuah koran berskala nasional dan dimuat beberapa hari kemudian. Di ujung surat itu, nama Odessa memang dituliskan lengkap berikut alamat kantornya. Seingat Odessa, hanya sekali itulah dia menulis surat. Seingat Odessa pula, seminggu setelah pemuatan surat pembaca itulah dia mulai dibanjiri surat dari mana-mana. Dari dalam maupun dari luar Indonesia. u Entah bagaimana ceritanya, pada suatu Jumat sore, ketika orang-orang hendak pulang kantor, Odessa kepingin melihat-lihat kembali tempat sampah sampah yang berisi sobekan surat-surat yang diterimanya hari itu. Kebetulan, pada hari itu Odessa hanya menerima 5 pucuk surat. Satu per satu ditelitinya sobekan surat itu. Ada surat penawaran barang-barang dari satu mal. Ada ajakan untuk jadi member satu club golf. Ada ajakan untuk mengikuti lotere dari Australia. Ada katalog filateli dari Denmark. Keempatnya tak menarik perhatian Odessa dan dikembalikan ke keranjang sampah. Namun, ada satu sobekan surat yang berasal dari Amerika Serikat. Setelah disambung-sambung, surat itu berbunyi sebagai berikut. "Mungkin anda lupa pada saya. Anda pernah menyelamatkan nyawa saya ketika sedang ditodong perampok di Bunderan Hotel Indonesia. Kalau Anda tidak menolong saya, sudah pasti saya mati. Sebagai rasa terima kasih, bersama dengan surat ini saya kirimkan uang sebesar US$ 10.000 dalam bentuk cek. Mohon diterima dengan senang hati." Di bagian bawah surat itu nama penulis hanya ditulis dengan singkatan: DJ. Di bawah nama itu tertulis jabatan pengirim surat sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan multinasional di Los Angeles. Lha? Waduh ...! Piye toh? Oalah! Duh Gusti! Beberapa detik kemudian, kepala Odessa terkulai di kursinya. Teman-teman kantornya datang menghampirinya. "Coba dikipas-kipas dulu," kata yang satu. "Dasinya coba dilonggarkan," kata yang lain. "Diguyur air dingin saja kepalanya biar sadar." "Dikasih minum air putih saja." "Entar juga sadar sendiri kok. Biar saja begitu." "Telepon dokter saja." "Bawa ke klinik kantor kita saja." "Tolong carikan ambulans!" Jakarta, 20 Agustus 2002




Telepon


Cerpen Pamusuk Eneste Silakan Simak!
Dimuat di Media Indonesia Silakan Kunjungi Situsnya!

"MAS Oskar Blabla telepon," kata sekretaris kantor.Begitulah yang terjadi kalau telepon masuk ke ruangan yang diisi 50 karyawan itu. Untuk satu ruangan itu hanya ada satu line telepon. Jadi, kalau ada telepon, sekretaris akan meneriakkan nama yang menerima telepon.Laki-laki yang bernama Oskar Blabla itu pun berdiri dari tempat duduknya. Dengan hati dagdigdug, Oskar Blabla menuju meja sekretaris. Dari siapa gerangan telepon itu?"Dari siapa, ya Mbak?" tanya Oskar Blabla kepada sekretaris."Kayaknya suara cewek, Mas."Sebelum menjangkau gagang telepon, Oskar Blabla cepat-cepat membisiki si sekretaris, "Tolong bilang saya sedang keluar kantor."Begitulah selalu Oskar Blabla. Belakangan ini, ia selalu menghindari telepon dari wanita. Orang-orang sekantornya tidak tahu apa sebabnya. Namun, demikianlah yang terjadi setiap kali ada telepon dari wanita untuk Oskar Blabla.***Sehari setelah pernikahan mereka, Febi meninggalkan suaminya, Oskar Blabla. Febi mendapat beasiswa dari pemerintah Inggris untuk memperdalam pengetahuan mengenai hukum di London (guna meraih derajat master dan kemudian PhD). Karena beasiswa itu hanya untuk satu orang alias tanpa anggota keluarga, Oskar Blabla tidak ikut serta ke negeri Ratu Elizabeth itu."Lagi pula, Oskar Blabla kan punya posisi bagus di kantornya," kata Febi."Tidak mungkin dong dia mau melepas posisi itu."Kalau kita tanya Oskar Blabla mengapa ia tidak menyertai istrinya ke London, jawabnya, "La, yang dapat beasiswa istriku kok. Kenapa aku harus berangkat?""Anda kan bisa berangkat dengan biaya sendiri?" tanya kita lagi. Oskar Blabla diam saja."Anda tidak takut kehilangan istri?" tanya teman Oskar Blabla.Oskar Blabla tidak menjawab."Cuma, aku sih percaya kepada istriku," kata Oskar Blabla kemudian."Kalau istrimu kecantol sama orang bule, bagaimana?"Oskar Blabla bergeming lagi. Lalu, katanya, "Ya, apa boleh buat...itu terserah dia saja. Bagaimana aku bisa kontrol dari jauh? Tidak mungkin toh? ***Sepeninggal Febi, Oskar Blabla hanya ditemani pembantunya yang sudah tua di rumah. Bi Iyem namanya.Febi mengirim surat sekali seminggu kepada Oskar Blabla. Laki-laki ini juga membalasnya sekali seminggu. Selain itu, Febi pun menelepon sekali tiga hari. Itu masih ditambah lagi dengan kiriman e-mail Febi sekali dua hari.Itu bulan pertama.Pada bulan kedua, surat Febi cuma sekali dua minggu. Telepon dari Febi hanya sekali seminggu. E-mail hanya sekali seminggu.Bulan ketiga, surat Febi pada Oskar Blabla hanya sekali tiga minggu.Telepon hanya sekali tiga minggu. E-mail Tidak muncul lagi.Pada bulan keempat, surat Febi pada Oskar Blabla hanya sekali empat minggu. Telepon hanya sekali tiga minggu.Bulan kelima, surat Febi datang sekali sebulan. Telepon dari Febi tak pernah lagi datang.Pada bulan keenam, kesemuanya tak pernah lagi muncul dari Febi: surat, telepon, dan e-mail. Namun, Oskar Blabla masih terus mengirim surat ke London meski tak pernah mendapat balasan dari Febi. Oskar Blabla pun terus menelepon ke apartemen Febi, namun yang terdengar cuma bunyi "tulalit-tulalit". Oskar Blabla pun mencoba mengirim e-mail, namun tak bisa masuk ke kotak e-mail Febi. Kenapa begitu, Oskar Blabla tidak tahu.Belakangan, surat-surat yang dikirimkan Oskar Blabla ke London selalu dikembalikan tukang pos dengan catatan "Tidak kenal nama si alamat" atau "Nama si alamat tidak ada pada alamat yang tercantum".***Oskar Blabla tidak mengerti apa yang terjadi dengan Febi. Apakah Febi sudah pindah apartemen? Kalau ya, kenapa dia tidak memberitahuku? Apakah Febi sudah melupakan Oskar Blabla? Apakah Febi sudah kecantol pada pria Inggris? Apakah nomor telepon Febi sudah diganti? Apakah Febi sudah menukar alamat e-mail-nya tanpa memberi tahu Oskar Blabla?Setahun dua tahun berlalu, tidak juga ada kabar berita dari Febi.Oskar Blabla sudah menghubungi kantor Febi. Ajaibnya, teman-teman Febi berkomentar serupa. "Kami juga kehilangan kontak dengan Febi."La! Kok bisa begitu.Oskar Blabla pun sudah menghubungi Kedutaan Besar Inggris, minta tolong dilacak di mana alamat Febi di Inggris. Hasilnya: nihil! Oskar Blabla pun telah mendatangi Departemen Luar Negeri: ternyata nama Febi tidak tercatat di Kedutaan Besar Indonesia di London. Oskar Blabla pun sudah mengecek ke rumah mertuanya, orang tua Febi. Sami mawon! Mereka juga kehilangan jejak Febi.Edan!Piye toh??Kenapa semua orang tidak tahu ke mana raibnya Febi?Harus bagaimana lagi Oskar Blabla? Harus ke mana lagi Oskar Blabla mencari Febi?Sekian tahun kemudian....Diam-diam, ternyata ada wanita yang mengagumi Oskar Blabla di kantornya. Gebi namanya. Gayung pun bersambut. Tapa banyak orang yang tahu dan tanpa acara ini-itu, Oskar Blabla pun menikah dengan Gebi.Untungnya, Gebi tidak pernah bertanya tentang Febi dan apa hubungannya dengan Oskar Blabla. Yang terakhir ini pun tak pernah bercerita -secuil pun- mengenai Febi.***Oskar Blabla tidak ikut mengantar Febi ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, karena alasan pribadi."Aku paling benci dengan perpisahan," kata Oskar Blabla. "Rasanya ada yang terputus dari diri kita. Ada sesuatu yang hilang dan lepas dari diri kita."Oleh karena itu, Oskar Blabla hanya melepas Febi di pintu pagar rumah. Selanjutnya, Febi naik taksi ke Bandara Soekarno-Hatta."La, gimana sih? Masa, istri sendiri berangkat tidak diantar?" tetangga Oskar Blabla bertanya."Aku tak ingin menyaksikan orang yang ditinggal pergi meneteskan air mata. Aku juga tak ingin melihat orang yang akan berangkat itu bersedih hati."Oskar mengantarkan istrinya hanya sampai ke taksi berwarna biru laut di depan rumahnya."Daag," kata Febi ketika mau duduk di jok taksi seraya menutup pintu taksi.Oskar Blabla melambaikan tangan, lalu menutup pintu pagar.Ya, hanya dengan cara itu mereka berpisah. Tak ada pelukan hangat di antara keduanya. Apalagi ciuman mesra.Apakah Febi sungguh-sunguh berangkat ke Bandara Soekarnao-Hatta? Oskar Blabla tidak tahu. Apakah Febi sungguh-sungguh terbang ke London, sebetulnya Oskar Blabla juga tidak tahu persis. Jangan-jangan, Febi malah berangkat ke kota lain.Sejujurnya, Oskar Blabla tidak pernah melihat taksi yang ditumpangi Febi tiba di Cengkareng. Oskar Blabla pun tidak pernah melihat tiket Febi! Febi pun tak pernah menunjukkan tiket Jakarta-London kepada Oskar Blabla.Tidak mengherankan jika muncul pikiran yang tidak-tidak di kepala Oskar Blabla. Barangkali saja Febi diculik orang. Siapa tahu. Pada saat Febi berangkat --yang katanya ke London-- itu, soal culik-menculik sedang marak-maraknya terjadi di seantero negeri. Ada mahasiswa aktivis yang tidak pernah kembali ke rumahnya setelah mengikuti demonstrasi antipemerintah. Ada penyair yang diculik setelah membacakan sajak-sajaknya di sebuah pabrik. Ada seorang penulis kritis yang tak kembali ke rumahnya setelah mengambil honorarium di koran yang memuat tulisannya. Masih ada sejumlah orang yang tak pernah kembali ke rumahnya!Anehnya, tak seorang pun yang peduli dengan penculikan itu kecuali anggota keluarga yang ditinggal. Polisi tak peduli! Tentara pun tak peduli! Komisi Hak Asasi Manusia tak peduli! Menteri HAM tak peduli! Bahkan presiden pun tak peduli sedikit pun...(Weleh-weleh..., negara apa pula tempat Oskar Blabla hidup itu?)Mungkin ada yang menculik Febi ketika ia dalam perjalanan ke bandara?Mungkin saja.Ah, tak mungkin.Mungkin, tidak mungkin, mungkin, tidak mungkin...(Mirip tokek saja!)Kemungkinan diculik ada saja. Apalagi Febi dikenal sebagai aktivis LSM yang sangat vokal. Bukankah wartawan sangat suka mengutip kata-kata Febi, apa pun yang keluar dari mulutnya? Apalagi kalau kata-kata itu mengkritik atau menyerang pemerintah yang tengah berkuasa.Barangkali Febi tidak menelepon dan tidak mengirim e-mail lagi karena dia diculik orang tak dikenal di London. Bagaimana mau menelepon kalau Febi berada di bawah todongan pistol? Bagaimana mau mengirim e-mail kalau di tempat penculikan Febi tidak ada komputer?Oskar Blabla pusing memikirkan semua itu.Ah, persetan semua itu!Sabodo teuing!Setelah sekian tahun berselang, Oskar Blabla lambat laun melupakan Febi. Oskar Blabla tak mau lagi diganggu pikiran mengenai Febi. Memangnya cuma dia perempuan? Siapa yang tahan menunggu bertahun-tahun tanpa kabar berita secuil pun?Kini Oskar Blabla telah menjadi suami Gebi, teman sekantornya. Entah kebetulan entah paham betul mengenai etiket berumah tangga, Gebi tak pernah menyinggung-nyinggung Febi. Oskar Blabla pun tak pernah menyebut-nyebut nama Febi di depan Gebi.Febi telah menjadi masa silam bagi Oskar Blabla. Meski begitu, diam-diam, bayangan Febi sering berkelebatan di otak Oskar Blabla. Kadang-kadang, Oskar Blabla khawatir jika tiba-tiba Febi meneleponnya di kantor atau di rumah dan menyatakan akan pulang ke rumah dalam waktu dekat. Siapa tahu Febi sengaja tidak menelepon, menyurati, atau meng-e-mail Oskar Blabla dengan maksud ingin membuat kejutan setelah Febi meraih master dan PhD dari Universitas London dengan judisium cum laude? Oskar Blabla pernah membaca di sebuah majalah wanita bahwa istri-istri sering ingin membuat kejutan bagi pasangannya. Siapa tahu, Febi tergolong pada istri semacam itu.Lantas, kalau Febi betul-betul pulang, bagaimana pula dengan Gebi? Apakah Gebi mau menerima Febi di rumahnya? Apakah Febi bisa menerima kehadiran Gebi di rumahnya? Apakah Febi mau dimadu? Apakah Gebi mau berbagi ranjang dengan Febi?Kalau tahu-tahu Febi muncul di ambang pintu rumah Oskar Blabla, bagaimana?Duh Gusti! Oskar Blabla tak mampu membayangkannya.Oskar Blabla pun akan pusing tujuh keliling jika disuruh memilih Febi atau Gebi.Apakah Oskar Blabla akan memilih Febi yang telah menghilang dari jagat rayanya dan telah menjadi masa silamnya? Apakah Oskar memilih Gebi yang mendampinginya satu tahun terakhir itu?Kalau Oskar Blabla memilih Gebi, bisa saja Febi tidak mau menerimanya. Bisa saja Febi mengadukan Oskar Blabla ke polisi dan selanjutnya berurusan dengan pengadilan. Hal terburuk pun bisa terjadi, yakni Febi kalap. Bisa saja Febi membawa pistol dan langsung mengedor Oskar Blabla. Tamatlah riwayat Oskar Blabla!Pada suatu hati, ketika Oskar Blabla sedang cuti sehari di rumah dan Gebi sedang bekerja di kantor, tahu-tahu terdengar bunyi 'kring' di rumah Oskar Blabla.Oskar Blabla yang sedang membaca koran pagi di teras depan berteriak ke dalam rumah, "Bi Iyem, tolong diangkat teleponnya!"Sayup-sayup dari dapur terdengar suara sambil berlari, "Baik Tuan.""Kalau dari wanita, bilang saya tidak ada....""Baik Tuan. Kalau dari orang laki, bagaimana Tuan?""Tanya siapa namanya.""Baik Tuan."Bi Iyem pun mengangkat gagang telepon.Jakarta, 25 November 2002






2 komentar:

Posting Komentar

banyak-tugas.blogspot.com

Followers